Sumatera Utara, mitranegara_gpri-ak.com.
LABUHANBATU – Polda Sumatera Utara akan menggelar penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan atau mediasi terhadap seorang wanita, Bastyana Ginting (39) yang diduga menjadi korban malpraktek di Rumah Sakit Murni Teguh Medan pada 5 September 2020 silam.
“Hari Selasa ini Polda Sumut mengundang kita untuk mediasi,” kata Asri Tarigan selaku Kuasa Hukum, Korban boru Ginting, Jumat (30/9).
Ketua Bidang Hukum FPII Labuhanbatu ini, berharap kepada rekan-rekan media untuk dapat memantau jalannya mediasi guna memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat terkait dugaan malpraktek yang terjadi.
“Memohon kepada teman-teman agar dapat menginformasikan ini, kepada teman-teman kita sesama wartawan yang ada di Medan untuk dapat hadir dan membantu kami dalam mensosialisasikan ini,” ucap Asri Tarigan.
Dia menceritakan awal mula terjadi dugaan malpraktek yang dialami kliennya, Bastyana boru Ginting.
Saat itu korban mendapat rujukan lanjutan ke RS Murni Teguh Medan pada 26 Mei 2020 kerena gangguan kesehatan bagian perut, Mioma Uteri.
Mioma Uteri merupakan benjolan abnormal yang dapat tumbuh pada bagian tubuh mana saja termasuk pada rahim. Mioma dapat tumbuh dapat tumbuh pada bagian dalam rahim, dinding otot rahim atau permukaan luar rahim.
Mioma seperti dikutip dari beberapa media, tidak berkaitan dengan peningkatan risiko kanker rahim bahkan hampir tidak pernah berkembang menjadi kanker.
Berlanjut 24 Agustus 2020, kliennya mendatangi RS Murni Teguh untuk mendapatkan penanganan medis atas keluhan penyakitnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan, hasil USG yang dilakukan dokter, klienya dinyatakan mengalami gangguan Mioma Uteri dan harus menjalani operasi.
Mendengar itu, Bastyana meminta alternatif penyembuhan lain (di luar operasi) kepada dokter yang menanganinya. Sebab, dirinya masih melajang atau belum menikah.
Bastyana mempertanyakan resiko yang timbul pasca menjalani operasi Mioma. Ia juga berencana akan mendatangi rumah sakit lain jika pihak dokter tidak mampu melakukan operasi dengan baik.
Kepada dokter, Bastyana mempertegas akan masuk ruang bedah dengan persyaratan hanya Miomi Uteri yang diangkat, tidak dengan bagian tubuh lainnya (rahim).
Pihak Rumah Sakit Murni Teguh melalui dokter menyatakan kesanggupan atas keinginan pasien. Dengan catatan, melakukan suntik hormon lebih kurang tiga bulan, dengan tarif Rp 2.500.000 di tempat praktek dokter tersebut.
Setelah mengikuti arahan dokter, pada tanggal 5 September 2020, Bastyana menjalani operasi di RS Murni Teguh.
6 September 2020 di ruang rawat inap RS Murni Teguh, Bastyana meminta dokter untuk memberitahukan hasil pengangkatan Miomi Uteri. Namun dokter menolaknya.
“Tidak perlu dilihat yang penting penyakit kamu sudah saya ambil,” ungkap Asri menceritakan ulang jawaban dokter kepada kliennya saat itu.
Setelah lima hari menjalani rawat inap di RS Murni Teguh Medan, Bastyana diperkenankan pulang ke rumah. Namun pihak dokter enggan menunjukkan hasil operasi, meski telah diminta kembali oleh Bastyana.
Tujuh hari setelahnya, Bastyana kembali melakukan cek kesehatan di RS Murni Teguh. Ia mengaku, pihak dokter tidak melakukan USG, hanya ditangani oleh perawat atau suster dengan membuka perban.
Saat itu, Bastyana hanya mendapat jawaban dari dokter, USG tidak perlu lagi dilakukan karena Mioma telah diangkat seluruhnya.
Keanehan pun mulai dirasakan oleh Bastyana setelah dua bulan pasca menjalani operasi. Pada bagian perutnya terlihat membesar. Bahkan ukuran perut tampak lebih besar jika dibandingkan sebelum dilakukan operasi.
Ia juga mengaku mengalami nyeri serta tidak lagi menemui datang bulan.
Bastyana lantas kembali menemui dokter untuk mempertanyakan keanehan yang dialaminya beberapa hari belakangan.
Namun tak menduga, ia baru mengetahui rahimnya juga diangkat saat menjalani operasi Mioma Ulteri yang dilaksanakan pada 5 September lalu.
“Ia lah, kamu tidak datang bulan lagi karena saya sudah angkat semuanya,” penjelasan dari dokter. Asri mengatakan, setelah mendengarkan penjelasan dokter, kliennya pun sangat marah dan tegas menyampaikan akan mencari keadilan.
(Red ngadimen)