Mitranegaragpri-ak.Com – PALEMBANG,.
kejadian bermula saat insan pers melakukan liputan di kantor BAPPEDA provinsi Sumatera Selatan dan terkesan tidak di terima dengan baik, Kemudian salah satu oknum staf dari dinas BAPPEDA PROVINSI Sumatera Selatan merampas hp wartawan yang sedang meliput mempertanyakan kenapa kepala dinas tersebut menolak untuk bertemu dengan wartawan, pada Senin (14/11/2022).
disinilah awal Mula terjadinya perampasan alat kerja wartawan Berupa Handphone, Pada saat sedang wawancara,
wartawan tersebut menggunakan Handphone nya, karena tidak terima di wawancarai staf tersebut merampas Handphone dan memaksa menghapus hasil wawancara terkait kepala dinas yang tidak ingin menemui wartawan, sehingga ada dugaan untuk menghilangkan barang bukti, oleh sebab itu sesuai dengan undang -undang pasal nya berlaku staf tersebut indikasi melanggar unsur pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 372 KUHP.
Sementara itu Divisi Pengawas WRC PAN – RI Sumsel Mengatakan ini sudah ada indikasi menyentuh Pasal 372 KUHP yang berbunyi
Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara Se-lama lamanya empat (4) tahun.
Tak hanya itu Kadis BAPPEDA tersebut terkesan melanggar Undang-undang Pers, yang di atur dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dan dalam pasal 18 ayat (1) yang tertulis:
1.Setiap orang yang secara sah melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah).
di sisi lain Divisi Pengawas WRC PAN – RI menyayangkan kelakuan Oknum staf dan pegawai yang Menggunakan Sandal Jepit saat jam kerja dan berada Di kantor dari keterangan awak media, ia melihat staf-staf Dinas BAPPEDA PROVINSI Sumatera Selatan disaat jam kerja mengangkangi aturan kedinasan atau perkantoran alias (semau mau) menggunakan sandal (tidak bersepatu dengan rapih).
Divisi Pengawas WRC PAN – RI Mengatakan ini pemandangan unik, kalau tidak bisa dikatakan miris, di kalangan PNS, terkait disiplin berpakaian. Sebenarnya regulasi tegas mengatur tentang kedisiplinan berpakaian bagi aparatur sipil negara. Permendagri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pakaian Dinas PNS diatur dengan jelas bahwa pakaian dinas harian untuk hari senin sampai selasa menggunakan pakaian warna khaki, hari rabu kemeja putih, kamis baju batik sesuai khas daerah masing-masing, dan jumat pakaian olahraga. Berbicara tentang pakaian seragam PNS, orientasi berpikir kita tentu soal keseragaman dan kerapian, yang juga include di dalamnya tentang etika berpenampilan. Pertanyaannya, sudah beretikakah kita di saat jam kerja (kecuali waktu ishoma), kita masih wira wiri menggunakan sandal jepit? Berangkat kerja berseragam lengkap.
Tiba di kantor, masuk ruangan, sepatu yang mengilap dilepas, dimasukkan ke dalam kaki meja, kemudian sepatu yang tadinya di kaki “disulap” menjadi sandal jepit di kaki. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian dari kita masih senang bersandal jepit di kantor, meski waktu ishoma sudah berlalu. Perilaku “minor” ini sebenarnya sudah jamak terjadi di mana saja. Ibarat kancing ketemu lubang, selalu menjadi teman setia, selayaknya sepasang kekasih. Meski tidak secara eksplisit dijelaskan dalam aturan yang baru, tetapi kebiasaan bersandal jepit di kantor adalah kebiasaan yang mengkhianati etika seorang PNS. Dalam poin keenam pasal I Permendagri Nomor 60 Tahun 2007 sebenarnya diatur tentang kelengkapan atribut pakaian dinas. Berikut bunyinya: Kelengkapan pakaian dinas adalah kelengkapan pakaian yang dikenakan atau digunakan Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan jenis pakaian dinas, termasuk ikat pinggang, kaos kaki dan sepatu beserta atributnya. Ini artinya bahwa tak ada satu pun regulasi yang mengatur tentang sandal jepit, karena sandal jepit identik dengan suasana santai, bebas, dan tidak terikat aturan. Itulah sebabnya PNS tidak dilarang memakai sandal pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya waktu istirahat, sholat dan makan. Tapi setelah itu, PNS wajib ke bentuk aslinya sebagai PNS. Namun kenyataannya, banyak yang keterusan sampai jam pulang kantor.
Mungkin sudah nyaman di kaki atau bisa juga karena lupa diakibatkan padatnya pekerjaan, hingga tanpa disadari, kita pun masuk ke ruangan pemimpin SKPD dengan balutan sandal jepit di kaki. Sungguh pemandangan yang kurang elok itu kenyataan .
Olehnya itu, mulai sekarang kita tanamkan berbenampilan sewajarnya dengan tetap memerhatikan kelengkapan atribut yang sudah diatur dalam regulasi yang ada.
Persoalan sandal jepit terbilang sepele, tapi bisa menimbulkan dampak yang kurang baik.
Pepatah lama mengatakan, detail kecil bisa berdampak besar. Seperti halnya kebiasaan memakai sandal di kantor, akan menimbulkan image kurang baik.
Petani saja yang sehari-harinya bersandal jepit, baik di sawah ataupun di rumah, tetapi saat menghadiri pertemuan, mereka akan memakai sepatu. Petani saja tahu kapan harus memakai sepatu, kapan harus memakai sandal.
Olehnya itu, mulai saat ini kita tanamkan jiwa kedisiplinan.
Tidak hanya disiplin soal waktu dan disiplin kerja, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah disiplin berpenampilan.
Jangan salahkan stigma yang sudah telanjur terbangun yang mengatakan PNS itu santai, tapi yang harus kita lakukan adalah tetap bekerja dan berupaya menghilangkan stigma tersebut dengan kerja nyata dan tetap memerhatikan detail kecil sesuai nafas kerja pemerintahan Jokowi-JK. Persoalan paling ekstrim sebenarnya terletak pada apa bukan pada siapa. Karena perubahan mindset kita sepenuhnya tidak bergantung pada orang lain melainkan bersandar pada sarana dan prasarana penunjang aktivitas keseharian kita sebagai aparat pemerintah sekaligus sebagai abdi negara yang bekerja berdasarkan pengabdian dan dedikasi yang tinggi semata-mata demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Saya kira harapan untuk merubah paradigma dengan tidak lagi menyepelekan detail yang mikro sekalipun akan selalu ada sepanjang kita mampu merawat harapan tersebut dalam bingkai semangat juang. Bukankah salah satu kekuatan manusia untuk bertahan hidup itu adalah harapan? Seperti kata Desmond Tutu, seorang tokoh pergerakan di Afrika Selatan, bahwa harapan itu adalah kemampuan melihat setitik sinar di dalam kegelapan tutur divisi Pengawas WRC PAN – RI
Dan oleh sebab itu, salah satu insan media warta post berinisiatif untuk mengambil video dan foto Sfat-staf tersebut di waktu jam aktif kerja pegawai dan Staf-staf itu pun terkesan dibiarkan menggunakan sandal disaat jam kerja itu sudah melanggar Kedisiplin Kepagawaian dan Aturan-aturan Pemerintah NKRI ini. ujar pewarta Media yang berada di lapangan,
Hormat kami DIVISI Pengawas WRC PAN – RI Sumsel